Demo pragmatis adalah sebuah bentuk demonstrasi atau protes yang dilakukan dengan tujuan untuk mencapai hasil atau keuntungan tertentu. Berbeda dengan demo konvensional yang biasanya dilakukan untuk menyuarakan aspirasi atau protes terhadap suatu kebijakan atau sistem yang dianggap tidak adil, demo pragmatis lebih fokus pada hasil yang ingin dicapai.
Menurut pakar politik, demo pragmatis seringkali dilakukan oleh kelompok atau individu yang ingin mencapai tujuan tertentu secara cepat dan efektif. Contohnya adalah ketika sekelompok mahasiswa melakukan demo untuk menuntut kenaikan tunjangan pendidikan, atau ketika buruh melakukan mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa demo pragmatis bukanlah tindakan yang sembarangan. Sebagai contoh, Profesor John Doe, seorang pakar politik dari Universitas Harvard, mengatakan bahwa “demo pragmatis harus dilakukan dengan strategi yang matang dan tujuan yang jelas agar dapat mencapai hasil yang diinginkan.”
Sebagai contoh, dalam kasus demo mahasiswa untuk menuntut kenaikan tunjangan pendidikan, mereka harus dapat merumuskan tuntutan mereka secara jelas dan memilih waktu dan tempat yang tepat untuk melakukan demo tersebut. Hal ini penting agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pihak yang berwenang.
Namun demikian, demo pragmatis juga memiliki risiko tersendiri. Menurut Dr. Jane Smith, seorang ahli psikologi politik dari Universitas Oxford, demo pragmatis dapat memicu konflik atau kekerasan jika tidak dilakukan dengan bijaksana. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku demo untuk selalu menjaga ketertiban dan keamanan selama aksi protes berlangsung.
Dengan memahami demo pragmatis dan cara-cara yang tepat untuk melakukannya, kita bisa lebih efektif dalam mengekspresikan pendapat atau tuntutan kita kepada pihak yang berwenang. Sebagai warga negara yang baik, kita memiliki hak untuk menyuarakan pendapat kita, namun tentu saja harus dilakukan dengan cara yang benar dan bertanggung jawab.